Aku harus memulainya lagi dari awal! Apa yang dikatakan Vita memang benar. Hidup ini mesti dilanjutkan bukan berhenti sampai di sini! Jangan sampai aku berhenti berharap. Masih banyak yang mesti aku kerjakan. Jika aku bisa memulainya itu harus dilakukan sekarang! Ya… tepat sekali harus sekarang! Tidak ada lagi yang bisa menghalangiku. Aku harus membuang jauh-jauh kenangan terindah bersama ADIT!!!
Beberapa hari kemudian…
" Hai selamat pagi teman-temanku !" sapaku di suatu pagi yang kurasa sangat dingin. Pagi-pagi hujan sudah membasahi kota tercintaku ini. Sepanjang jalan pun sudah basah dengan air hujan.
" Hai!" sahut mereka berbarengan.
Aku berjalan menuju tempat dudukku, disana sudah ada sahabatku yang sedang asyik membaca novel yang baru saja dia beli kemarin. Aku menyimpan tas "ungu"ku di atas meja dan itu membuat sahabatku yang bernama Vita merasa terusik. Aku tersenyum padanya, dan dia pun membalas senyumanku sambil menutup novel yang sedari tadi dibacanya. Entah apa yang membuat ia tertarik.
Aku mulai menyisir rambutku yang mulai berantakan mungkin akibat tadi naik motor kali ya. Ku keluarkan kaca dari dalam tasku, dan memasukkannya kembali setelah selasai melakukan semua itu.
" Put, kamu baik-baik aja kan? Tanya Vita sambil memandangku.
" Mmmm…seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja!" kataku sambil memainkan rambutku yang nampaknya sudah mulai panjang.
" Oh, kirain kamu masih memikirkan masalah…."
" STOP…!" kataku sambil menutup mulut sahabatku itu dan memeluknya sambil aku berbisik " Tak ada yang mesti disesalkan, semuanya harus berjalan seperti biasa, ok!"
Vita hanya mengangguk.
Bel kembali berbunyi, kali ini tanda pelajaran sudah selesai. Aku pun membereskan semua barang-barangku yang berserakan di meja.
" Put, hari ini kamu mau kemana?" tanya Vita.
" Entahlah, mungkin mengerjakan sesuatu yang bisa membuatku tersenyum" jawabku asal.
" Kalau gitu, gimana kalau kita pergi ke pameran buku?" ajak Vita.
Aku menghembuskan nafas sejenak, rasanya malas untuk pergi hari ini. Tapi ini tak adil buat sahabatku ini. Dia selalu ada buat aku.
" Ok deh!" Akhirnya aku memutuskan untuk ikut bersamanya.
Perjalanan menuju pameran buku lumayan mengasyikan, karena sahabatku yang pipinya mirip bakpau itu terus mengoceh, dia bercerita tentang sepupunya yang datang ke rumahnya. Aku hanya tersenyum dan sedikit berkomentar itu pun hanya mengatakan "Oh", "Masa!", "Lalu" dan menganggukkan kepala. Fuih…sebenarnya apa yang aku lakukan sekarang ini sangat bertolak belakang dengan isi hatiku. Sebenarnya aku menginginkan kesendirian tapi niat itu harus ku buang jauh-jauh. Aku sudah bertekad harus memulainya semuanya dari awal. Harus aku akui kejadian itu tak selamanya membuatku terhenti untuk menjalani hidup. Memang rasanya seperti kehilangan separuh jiwa, tapi alasan itu sangat tak masuk akal bila aku terhenti sampai disini. Pikiran di kepalaku terus berbicara aku pun tak mengerti sepenuhnya apa yang ada dalam otak dan pikiranku ini, sampai aku tak sadar bahwa aku sudah berjalan melintasi sebuah lorong yang dipenuhi dengan buku-buku. Tak ada yang membuatku tertarik, aku hanya melihat sahabatku memilih buku yang dia inginkan. Aku berjalan menyusuri jalan yang dipadati orang.
" Duh…berat banget nih bantuin dong!" suara itu menyadarkan lamunanku.
" Banyak amat nih, sekalian aza beli semua yang ada disini."
" Pengennya sih…tapi duitnya enggak memadai. Padahal masih banyak yang ingin dibeli."
Aku hanya bisa mengelengkan kepala melihat tingkah laku Vita. Vita…hobi membaca yang bercita-cita menjadi penulis terkenal, membuatku selalu bisa tersenyum. Aku beruntung mempunyai sahabat seperti dia. Selain menjadi sahabat dia pun bisa menjadi adik karena tingkah polosnya yang membuat dia belum terlalu dewasa.
Perjalanan pulang terasa sangat cepat, mungkin karena lelah jadi sepanjang perjalanan hanya di habiskan dengan kebisuan. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sesampainya di rumah, aku langsung berjalan menuju kamarku, tempat dimana aku bisa menumpahkan semua kesenangan dan kesedihan. Seperti saat ini aku duduk di atas tempat tidurku sambil memandangi dengan seksama foto yang masih terpajang apik di sebelah kanan tempat tidurku. Tidak…tidak…tak seharusnya aku memikirkan dia, ada yang harus kukerjakan lebih berguna daripada memikirkan dia yang tak jelas. Ku ambil foto itu lalu ku simpan di bawah tempat tidurku. Ayo kembali semangat jalani hari-hari dengan berwarna seperti pelangi yang selalu menampilkan warna-warnanya.
" Pagi…Ma..Pa..!" Aku mencium pipi kedua orang tuaku.
" Pagi sayang…!" jawab mereka hampir bersamaan.
Aku mengambil roti dan mengoleskannya dengan selai kesukaanku. Hari Minggu ini harus happy ending. Setelah kejadian itu kadang aku merasa takut untuk menjalani hari, karena aku tak tahu apa yang akan terjadi di depan sana yang siap kembali menerjang kehidupanku.
" Hari ini ada planning kemana?" Tanya mamahku.
Pertanyaan itu membuat aku berhenti sejenak mengunyah roti yang ada di dalam mulutku, lalu aku pun menjawab " Enggak kemana-mana Mah…Paling di rumah aja ngerjain tugas, lagi males keluar nih." Jawabku
" Apa sebaiknya kamu pergi jalan-jalan misalnya!" tawar Mamahku
Aku mengeleng tanda tak mau. Ada nada khawatir di dalam setiap kalimat yang Mamah lontarkan, aku ingin berusaha menunjukan bahwa aku baik-baik saja. Mungkin Mamah pikir aku depresi sehingga butuh hiburan yang bisa membuatku lupa akan hal yang aku alami dan menyembuhkan luka yang baru saja teriris.
" Kalau aku merasa bosan, aku bisa pergi ke rumah Vita kok Mah…" kataku tiba-tiba saja aku mengatakan itu. Aku tak ingin membuat Mamah khawatir akan tingkah laku anehku. Mamah hanya mengangguk.
Aku duduk di depan computer, aku bingung apa yang akan aku kerjakan. Tak ada satu pun yang aku mengerti tentang tugas yang diberikan Pak Toni. Huh…mestinya kutanyakan ini pada Vita. Dengan ogah-ogahan aku mengambil handphone yang tergeletak di atas meja. Lalu ku tekan tombol yang tertera di dalamnya.
" Ada apa Put?" Tanya Vita di seberang sana.
" Vit, tugas dari Pak Toni itu gimana sih?"
Vita menjelaskan dengan panjang lebar bahwa tugas dari Pak Toni mesti bla…bla…bla…aku pun tak begitu paham apa yang dikatakan oleh Vita. Aku merasa otakku sekarang ini menjadi sangat lemot. Daya serapnya tak secanggih dulu. Tapi ada sedikit bayangan tentang tugas yang harus dikumpulan besok pagi itu. Setelah memutuskan hubungan telepon aku langsung membuat tugas itu dengan cepat. Aku harus selesaikan ini semua. Ayo semangat!
Musik di dalam kamarku terdengar lumayan keras. Itu membuat otakku pun berjalan cepat walaupun mungkin secara logika tak ada hubungannya tapi itu membuatku merasa nyaman. Aku mengetik tugas-tugas sambil diselingi bernyanyi sedikit. Tiba-tiba saja ada yang mengetuk kamarku.
" Masuk!" teriakku
Ternyata Mbok Minah mengantarkan makanan.
" Non, tadi ada telepon, katanya sih dari Kak Tami!" kata Mbok Minah
Aku menghentikan aktivitasku. Aku terdiam, termenung. Kak Tami… ada apa dia menelepon ke rumahku? Apa yang terjadi dengan Adit? Banyak pertanyaan yang keluar dari benakku, segera ku hilangkan pikiran yang tak masuk akal. Apa yang harus aku lakukan? Menelepon kembali dan menanyakan apa yang terjadi? Dengan langkah cepat kutinggalkan apa yang sedari tadi aku kerjakan. Aku melesat kebawah dan mengambil telepon rumahku lalu menekan tombol nomor telepon rumah Adit.
" Halo…"
" Ha..lo…"kataku terbata-bata. Aku gugup.
" Putri? Tanya orang di seberang sana.
" Kak Tami" kataku.
" Oh…syukurlah akhirnya kau menelepon juga. Terdengar nada perasaan gembira yang baru saja dikatakan Kak Tami.
" Mmm…ada apa ya?" aku mulai penasaran.
Keheningan mulai menyelimuti. Aku tak tahu apa yang ada di dalam pikiran Kak Tami, tapi firasatku berkata bahwa ada sesuatu yang sedang di alami keluarganya.
" Sebaiknya kamu ke sini, bisa kan?"
Aku tak segera menjawab, banyak perhitungan yang mesti aku pikirkan. Kalau aku pergi ke rumah Kak Tami pasti aku akan bertemu dengan Adit. Baru saja aku mencoba untuk melupakannya dan membiarkan dia pergi dari kehidupanku tiba-tiba saja aku harus berurusan keluarganya dan melibatkan aku didalamnya. Tapi entah ada gerakan apa tiba-tiba saja aku menyetujui permintaan Kak Tami barusan. Aku menutup telepon rumahku, aku mematung.
" Apa yang sedang kau kerjakan di sana, Putri?" suara lembut menyadarkanku akan waktu yang tetap berjalan.
Aku setengah berlari menuju kamarku.
" Ada apa, nak?" Tanya Mamahku.
" Aku harus pergi sekarang!" teriakku di dalam kamar.
Aku tak peduli apa yang ada di dalam pikiran Mamahku. Pokoknya aku harus cepat-cepat ke rumah Adit. Kalau Mamah tahu aku akan ke sana mungkin beliau tidak akan setuju dan melarangku untuk keluar hari ini. Mamah mungkin sudah terlanjur benci dengan Adit, karena dia telah mengecewakan aku anak semata wayangnya. Dengan sekejap aku sudah siap pergi. Aku bilang, aku akan pergi mengunjungi teman yang sedang sakit. Segera aku menghubungi Vita supaya Mamah percaya aku benar-benar mengunjungi teman. Lalu ku jelaskan kepada Vita dengan nada terburu-buru, tapi aku pun tidak menjelaskan secara detail mengapa aku memutuskan untuk pergi ke rumahnya. Aku terpaksa berbuat ini, sangat terpaksa. Sebelumnya tak ada niat untuk melakukan ini. Tapi apa boleh buat.
Perjalanan sangat lambat kurasa. Aku meminta kepda sopir yang membawaku supaya cepat. Berkali-kali kulihat jam di tangan, berkali-kali pula aku melihat handphoneku berharap ada yang menghubungiku tapi nihil.
Mobil berhenti di depan rumah ber-cat hijau. Kini aku berdiri di depannya. Aku menginjakkan kaki kembali di sini di rumah mantan pacarku tepatnya. Dengan ragu-ragu kubukakan pintu pagar, aku melihat sekelilingan tak ada yang berubah sedikit pun. Banyak kenangan di rumah ini. Aku tersenyum. Aku pun mengetuk pintu, tak ada jawaban, itu membuatku semakin tak sabar. Ku ketuk kembali pintu itu, jantungku berdetak sangat cepat tak seperti biasanya. Rasanya terasa asing akan perasaanku ini. Pintu terbuka, aku menoleh dan memandang Kak Tami yang pemampilannya kini sangat berantakan, ada rona kesedihan di raut mukanya itu membuat hatiku semakin penasaran.
" Ayo masuk!" perintahnya.
Kulangkahkan kaki, sepi terasa di dalam rumah ini. Kemana keceriaan yang dulu menghiasi rumah ini? Terasa berantakan, tak seperti biasanya. Kak Tami membukakan pintu kamar Adit, dan kulihat Adit di tempat tidurnya memandang sebuah foto. Keberanianku untuk mendekatinya semakin memuncak, semakin mendekat aku semakin paham apa yang sebenanrnya terjadi, tak terasa air mataku membasahi pipiku. Ternyata foto yang dia pegang adalah fotoku. Aku melihat Adit, aku merasa dia bukan Adit tapi kenyataannya itu Adit. Dia sekarang tampak lusuh tak terurus. Aku memegang tangannya, dia menoleh ke arahku dan aku pun mencoba untuk tersenyum.
" Dia menyesal telah memutuskanmu!" Kak Tami mulai berbicara.
" Dia merasa bersalah dengan apa yang dia perbuat, dia merasa dengan putus denganmu akan menyelesaikan semuanya tapi sebaliknya dia merasa sangat kehilangan kamu. Dia malu untuk meminta balikan lagi…."
Cerita Kak Tami tersamarkan dengan isak tangisku. Aku tak mampu memendamnya semuanya kini telah keluar. Ku coba menghapus air mata yang membasahi pipiku ini. Aku tak tahu ini sebenarnya mimpi atau benar kenyataan. Tapi yang jelas apa yang terjadi saat ini nyata, Adit gila! Itu yang bisa ku cerna dari cerita Kak Tami. Aku tak tahu harus menyalahkan siapa. Yang jelas saat ini aku ingin terus berada di sampingnnya, karena sampai detik ini pun aku masih mencinntainya." I Love you, Adit" Aku membisikkan kalimat itu ke telinga Adit. Aku tak peduli dia dengar atau tidak. Dia hanya menatap foto yang ada dalam genggamannya
Beberapa hari kemudian…
" Hai selamat pagi teman-temanku !" sapaku di suatu pagi yang kurasa sangat dingin. Pagi-pagi hujan sudah membasahi kota tercintaku ini. Sepanjang jalan pun sudah basah dengan air hujan.
" Hai!" sahut mereka berbarengan.
Aku berjalan menuju tempat dudukku, disana sudah ada sahabatku yang sedang asyik membaca novel yang baru saja dia beli kemarin. Aku menyimpan tas "ungu"ku di atas meja dan itu membuat sahabatku yang bernama Vita merasa terusik. Aku tersenyum padanya, dan dia pun membalas senyumanku sambil menutup novel yang sedari tadi dibacanya. Entah apa yang membuat ia tertarik.
Aku mulai menyisir rambutku yang mulai berantakan mungkin akibat tadi naik motor kali ya. Ku keluarkan kaca dari dalam tasku, dan memasukkannya kembali setelah selasai melakukan semua itu.
" Put, kamu baik-baik aja kan? Tanya Vita sambil memandangku.
" Mmmm…seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja!" kataku sambil memainkan rambutku yang nampaknya sudah mulai panjang.
" Oh, kirain kamu masih memikirkan masalah…."
" STOP…!" kataku sambil menutup mulut sahabatku itu dan memeluknya sambil aku berbisik " Tak ada yang mesti disesalkan, semuanya harus berjalan seperti biasa, ok!"
Vita hanya mengangguk.
Bel kembali berbunyi, kali ini tanda pelajaran sudah selesai. Aku pun membereskan semua barang-barangku yang berserakan di meja.
" Put, hari ini kamu mau kemana?" tanya Vita.
" Entahlah, mungkin mengerjakan sesuatu yang bisa membuatku tersenyum" jawabku asal.
" Kalau gitu, gimana kalau kita pergi ke pameran buku?" ajak Vita.
Aku menghembuskan nafas sejenak, rasanya malas untuk pergi hari ini. Tapi ini tak adil buat sahabatku ini. Dia selalu ada buat aku.
" Ok deh!" Akhirnya aku memutuskan untuk ikut bersamanya.
Perjalanan menuju pameran buku lumayan mengasyikan, karena sahabatku yang pipinya mirip bakpau itu terus mengoceh, dia bercerita tentang sepupunya yang datang ke rumahnya. Aku hanya tersenyum dan sedikit berkomentar itu pun hanya mengatakan "Oh", "Masa!", "Lalu" dan menganggukkan kepala. Fuih…sebenarnya apa yang aku lakukan sekarang ini sangat bertolak belakang dengan isi hatiku. Sebenarnya aku menginginkan kesendirian tapi niat itu harus ku buang jauh-jauh. Aku sudah bertekad harus memulainya semuanya dari awal. Harus aku akui kejadian itu tak selamanya membuatku terhenti untuk menjalani hidup. Memang rasanya seperti kehilangan separuh jiwa, tapi alasan itu sangat tak masuk akal bila aku terhenti sampai disini. Pikiran di kepalaku terus berbicara aku pun tak mengerti sepenuhnya apa yang ada dalam otak dan pikiranku ini, sampai aku tak sadar bahwa aku sudah berjalan melintasi sebuah lorong yang dipenuhi dengan buku-buku. Tak ada yang membuatku tertarik, aku hanya melihat sahabatku memilih buku yang dia inginkan. Aku berjalan menyusuri jalan yang dipadati orang.
" Duh…berat banget nih bantuin dong!" suara itu menyadarkan lamunanku.
" Banyak amat nih, sekalian aza beli semua yang ada disini."
" Pengennya sih…tapi duitnya enggak memadai. Padahal masih banyak yang ingin dibeli."
Aku hanya bisa mengelengkan kepala melihat tingkah laku Vita. Vita…hobi membaca yang bercita-cita menjadi penulis terkenal, membuatku selalu bisa tersenyum. Aku beruntung mempunyai sahabat seperti dia. Selain menjadi sahabat dia pun bisa menjadi adik karena tingkah polosnya yang membuat dia belum terlalu dewasa.
Perjalanan pulang terasa sangat cepat, mungkin karena lelah jadi sepanjang perjalanan hanya di habiskan dengan kebisuan. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sesampainya di rumah, aku langsung berjalan menuju kamarku, tempat dimana aku bisa menumpahkan semua kesenangan dan kesedihan. Seperti saat ini aku duduk di atas tempat tidurku sambil memandangi dengan seksama foto yang masih terpajang apik di sebelah kanan tempat tidurku. Tidak…tidak…tak seharusnya aku memikirkan dia, ada yang harus kukerjakan lebih berguna daripada memikirkan dia yang tak jelas. Ku ambil foto itu lalu ku simpan di bawah tempat tidurku. Ayo kembali semangat jalani hari-hari dengan berwarna seperti pelangi yang selalu menampilkan warna-warnanya.
" Pagi…Ma..Pa..!" Aku mencium pipi kedua orang tuaku.
" Pagi sayang…!" jawab mereka hampir bersamaan.
Aku mengambil roti dan mengoleskannya dengan selai kesukaanku. Hari Minggu ini harus happy ending. Setelah kejadian itu kadang aku merasa takut untuk menjalani hari, karena aku tak tahu apa yang akan terjadi di depan sana yang siap kembali menerjang kehidupanku.
" Hari ini ada planning kemana?" Tanya mamahku.
Pertanyaan itu membuat aku berhenti sejenak mengunyah roti yang ada di dalam mulutku, lalu aku pun menjawab " Enggak kemana-mana Mah…Paling di rumah aja ngerjain tugas, lagi males keluar nih." Jawabku
" Apa sebaiknya kamu pergi jalan-jalan misalnya!" tawar Mamahku
Aku mengeleng tanda tak mau. Ada nada khawatir di dalam setiap kalimat yang Mamah lontarkan, aku ingin berusaha menunjukan bahwa aku baik-baik saja. Mungkin Mamah pikir aku depresi sehingga butuh hiburan yang bisa membuatku lupa akan hal yang aku alami dan menyembuhkan luka yang baru saja teriris.
" Kalau aku merasa bosan, aku bisa pergi ke rumah Vita kok Mah…" kataku tiba-tiba saja aku mengatakan itu. Aku tak ingin membuat Mamah khawatir akan tingkah laku anehku. Mamah hanya mengangguk.
Aku duduk di depan computer, aku bingung apa yang akan aku kerjakan. Tak ada satu pun yang aku mengerti tentang tugas yang diberikan Pak Toni. Huh…mestinya kutanyakan ini pada Vita. Dengan ogah-ogahan aku mengambil handphone yang tergeletak di atas meja. Lalu ku tekan tombol yang tertera di dalamnya.
" Ada apa Put?" Tanya Vita di seberang sana.
" Vit, tugas dari Pak Toni itu gimana sih?"
Vita menjelaskan dengan panjang lebar bahwa tugas dari Pak Toni mesti bla…bla…bla…aku pun tak begitu paham apa yang dikatakan oleh Vita. Aku merasa otakku sekarang ini menjadi sangat lemot. Daya serapnya tak secanggih dulu. Tapi ada sedikit bayangan tentang tugas yang harus dikumpulan besok pagi itu. Setelah memutuskan hubungan telepon aku langsung membuat tugas itu dengan cepat. Aku harus selesaikan ini semua. Ayo semangat!
Musik di dalam kamarku terdengar lumayan keras. Itu membuat otakku pun berjalan cepat walaupun mungkin secara logika tak ada hubungannya tapi itu membuatku merasa nyaman. Aku mengetik tugas-tugas sambil diselingi bernyanyi sedikit. Tiba-tiba saja ada yang mengetuk kamarku.
" Masuk!" teriakku
Ternyata Mbok Minah mengantarkan makanan.
" Non, tadi ada telepon, katanya sih dari Kak Tami!" kata Mbok Minah
Aku menghentikan aktivitasku. Aku terdiam, termenung. Kak Tami… ada apa dia menelepon ke rumahku? Apa yang terjadi dengan Adit? Banyak pertanyaan yang keluar dari benakku, segera ku hilangkan pikiran yang tak masuk akal. Apa yang harus aku lakukan? Menelepon kembali dan menanyakan apa yang terjadi? Dengan langkah cepat kutinggalkan apa yang sedari tadi aku kerjakan. Aku melesat kebawah dan mengambil telepon rumahku lalu menekan tombol nomor telepon rumah Adit.
" Halo…"
" Ha..lo…"kataku terbata-bata. Aku gugup.
" Putri? Tanya orang di seberang sana.
" Kak Tami" kataku.
" Oh…syukurlah akhirnya kau menelepon juga. Terdengar nada perasaan gembira yang baru saja dikatakan Kak Tami.
" Mmm…ada apa ya?" aku mulai penasaran.
Keheningan mulai menyelimuti. Aku tak tahu apa yang ada di dalam pikiran Kak Tami, tapi firasatku berkata bahwa ada sesuatu yang sedang di alami keluarganya.
" Sebaiknya kamu ke sini, bisa kan?"
Aku tak segera menjawab, banyak perhitungan yang mesti aku pikirkan. Kalau aku pergi ke rumah Kak Tami pasti aku akan bertemu dengan Adit. Baru saja aku mencoba untuk melupakannya dan membiarkan dia pergi dari kehidupanku tiba-tiba saja aku harus berurusan keluarganya dan melibatkan aku didalamnya. Tapi entah ada gerakan apa tiba-tiba saja aku menyetujui permintaan Kak Tami barusan. Aku menutup telepon rumahku, aku mematung.
" Apa yang sedang kau kerjakan di sana, Putri?" suara lembut menyadarkanku akan waktu yang tetap berjalan.
Aku setengah berlari menuju kamarku.
" Ada apa, nak?" Tanya Mamahku.
" Aku harus pergi sekarang!" teriakku di dalam kamar.
Aku tak peduli apa yang ada di dalam pikiran Mamahku. Pokoknya aku harus cepat-cepat ke rumah Adit. Kalau Mamah tahu aku akan ke sana mungkin beliau tidak akan setuju dan melarangku untuk keluar hari ini. Mamah mungkin sudah terlanjur benci dengan Adit, karena dia telah mengecewakan aku anak semata wayangnya. Dengan sekejap aku sudah siap pergi. Aku bilang, aku akan pergi mengunjungi teman yang sedang sakit. Segera aku menghubungi Vita supaya Mamah percaya aku benar-benar mengunjungi teman. Lalu ku jelaskan kepada Vita dengan nada terburu-buru, tapi aku pun tidak menjelaskan secara detail mengapa aku memutuskan untuk pergi ke rumahnya. Aku terpaksa berbuat ini, sangat terpaksa. Sebelumnya tak ada niat untuk melakukan ini. Tapi apa boleh buat.
Perjalanan sangat lambat kurasa. Aku meminta kepda sopir yang membawaku supaya cepat. Berkali-kali kulihat jam di tangan, berkali-kali pula aku melihat handphoneku berharap ada yang menghubungiku tapi nihil.
Mobil berhenti di depan rumah ber-cat hijau. Kini aku berdiri di depannya. Aku menginjakkan kaki kembali di sini di rumah mantan pacarku tepatnya. Dengan ragu-ragu kubukakan pintu pagar, aku melihat sekelilingan tak ada yang berubah sedikit pun. Banyak kenangan di rumah ini. Aku tersenyum. Aku pun mengetuk pintu, tak ada jawaban, itu membuatku semakin tak sabar. Ku ketuk kembali pintu itu, jantungku berdetak sangat cepat tak seperti biasanya. Rasanya terasa asing akan perasaanku ini. Pintu terbuka, aku menoleh dan memandang Kak Tami yang pemampilannya kini sangat berantakan, ada rona kesedihan di raut mukanya itu membuat hatiku semakin penasaran.
" Ayo masuk!" perintahnya.
Kulangkahkan kaki, sepi terasa di dalam rumah ini. Kemana keceriaan yang dulu menghiasi rumah ini? Terasa berantakan, tak seperti biasanya. Kak Tami membukakan pintu kamar Adit, dan kulihat Adit di tempat tidurnya memandang sebuah foto. Keberanianku untuk mendekatinya semakin memuncak, semakin mendekat aku semakin paham apa yang sebenanrnya terjadi, tak terasa air mataku membasahi pipiku. Ternyata foto yang dia pegang adalah fotoku. Aku melihat Adit, aku merasa dia bukan Adit tapi kenyataannya itu Adit. Dia sekarang tampak lusuh tak terurus. Aku memegang tangannya, dia menoleh ke arahku dan aku pun mencoba untuk tersenyum.
" Dia menyesal telah memutuskanmu!" Kak Tami mulai berbicara.
" Dia merasa bersalah dengan apa yang dia perbuat, dia merasa dengan putus denganmu akan menyelesaikan semuanya tapi sebaliknya dia merasa sangat kehilangan kamu. Dia malu untuk meminta balikan lagi…."
Cerita Kak Tami tersamarkan dengan isak tangisku. Aku tak mampu memendamnya semuanya kini telah keluar. Ku coba menghapus air mata yang membasahi pipiku ini. Aku tak tahu ini sebenarnya mimpi atau benar kenyataan. Tapi yang jelas apa yang terjadi saat ini nyata, Adit gila! Itu yang bisa ku cerna dari cerita Kak Tami. Aku tak tahu harus menyalahkan siapa. Yang jelas saat ini aku ingin terus berada di sampingnnya, karena sampai detik ini pun aku masih mencinntainya." I Love you, Adit" Aku membisikkan kalimat itu ke telinga Adit. Aku tak peduli dia dengar atau tidak. Dia hanya menatap foto yang ada dalam genggamannya
0 komentar:
Posting Komentar